Thursday, December 23, 2010

Magical Nine Months

Suami: ... kamu mau ke lakiplasa?
Istri: yang mau nasi padang bukan aku. :-S
Suami: ok. *rolling eyes
--

Well, si baby yang mau.
-?-

Iya, saya hamil. :)
Mohon doanya yaa..

Ps. kehamilan ini sekaligus The Other Story of Japan Trip (3). :">

Thursday, December 16, 2010

The Other Story of Japan Trip (2) - Lover

Malam terakhir di Tokyo, kami bertemu seorang senior SMA yang sedang menempuh PhD-nya di negeri sakura. Dia pintar. Sangat pintar, sampai-sampai kami berdua pusing tiap kali berusaha merumuskan cara untuk menjadi sepintar dia. Anyway, ini dunia. Kami tahu pasti banyak yang lebih pintar dari dia. Tapi ada 1 hal yang membuat dia lebih istimewa di mata kami.  
He brings his wife's name in almost every of our conversation.

Dari ceritanya, kami berdua bisa melihat besarnya penghargaan dan rasa cintanya pada belahan jiwanya, bahkan mungkin tanpa ia sadari. Malam itu diam-diam dia membuat kami berinstrospeksi dan belajar untuk lebih saling menghargai.

It was nice for my husband and me, 
seeing someone who brings his soulmate's name in his daily,
unconsciously.
No, it's not cheesy. 
It's just because she is always in his heart. 
Constantly.

Sepanjang perjalanan pulang ke ryokan, saya dan suami bergandengan tangan, tenggelam dalam syukur yang dalam atas pelajaran 'remeh-temeh' barusan. Juga atas kesempatan untuk saling mencintai dan memiliki. Semoga Tuhan selalu menjaga cinta kami. :)

Thursday, November 11, 2010

The Other Story of Japan Trip (1) - Jilbab

Seperti yang saya tulis dalam post sebelumnya, saya dan suami baru saja kembali dari Jepang. Jalan-jalan ala ransel, dengan backpack tinggi dan budget yg terbatas. Tapi bukan soal cantiknya Kyoto, canggihnya Tokyo, atau soal perjalanan ala ransel itu yg kali ini akan saya ceritakan. Tulisan kali ini tentang saya -perempuan berjilbab yg tidak terlalu religius-, dengan keyakinan saya soal jilbab yg saya kenakan.

Saya mulai memakai jilbab sejak kelas 1 SMA, sekitar pertengahan tahun 2002. Waktu itu di lingkungan saya, teman-teman yg memakai jilbab belum sebanyak sekarang. Di rumah pun belum ada satupun anggota keluarga saya yg berjilbab. Saya sendiri tidak tahu darimana asal keinginan dan keyakinan untuk berjilbab. Pada saat masuk SMA, tiba-tiba saja saya minta pada ibu untuk membeli ukuran kain seragam untuk siswi berjilbab. Ayah dan ibu saya kaget dan kurang setuju. Beliau sempat meminta saya mempertimbangkan baik-baik rencana saya, karena khawatir nantinya saya akan 'membuka jilbab' di tengah jalan atau menemui banyak 'keterbatasan'. Apalagi sejak SMP saya sangat aktif di sekolah dan hobi berenang (waktu itu belum ada burqini). Sholat saya pun masih bolong-bolong, ngaji juga jarang, tajwid kacau, dan pengetahuan tentang Islam masih ala kadarnya. Saat itu pun masih ada sisi lain dalam diri saya yg merasa takut nanti jd ga bisa 'gaya', susah cari kerja, dll. Tapi dorongan untuk memakai jilbab begitu kuat dan (entah kenapa) tidak dapat saya lawan. Karena saya keuh-keuh, akhirnya orang tua saya mengiyakan. Dan sejak itu saya pun berjilbab. Nyaris tanpa modal. Saya cuma punya 1 jilbab yg saya pakai mulu, sambil pelan-pelan beli, satu-persatu. Alhamdulillah tidak ada halangan yg berarti selama saya memakai jilbab di SMA. Saya bisa tetap aktif di kegiatan sekolah.

Jilbab tidak serta-merta membuat saya 'alim'. Sholat saya masih sering bolong, ngaji masih tetap belum rajin, pengetahuan saya tentang Islam masih saja dangkal, dan kata-kata saya masih banyak menyakitkan. Bahkan saya belum secara konsisten memakai jilbab, kecuali di sekolah. Tapi saya merasa nyaman. Saya merasa, inilah identitas saya. Setiap saya berkaca, ada rasa malu pada pakaian yg saya kenakan. Dan saya pun mulai belajar menghias hati saya sesuai dengan jilbab yg saya pakai. Satu pelajaran yg saya dapat disini. "Jilbab akan membantu kita untuk 'bercermin' dan terus memperbaiki diri. Pelan-pelan. Dengan kecepatan yang tidak selalu konstan."

Kemudian saya melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, dimana mayoritas mahasiswanya adalah chinese & non-muslim. Awalnya saya sempat khawatir susah mendapat teman. Tapi ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Saya justru banyak belajar soal toleransi di jenjang ini. Alhamdulillah, saya tidak mengalami kendala yg berarti. Beberapa sahabat saya pun non-muslim. Bahkan saat di tingkat akhir, walaupun jumlah muslim di kelas hanya 3 orang, dan saya satu-satunya yg berjilbab, teman-teman non-muslim sangat menghargai kami. Kami pun belajar untuk sepenuh hati menghargai mereka dan apa yg mereka percaya. Satu lagi pelajaran yg saya ambil, "berjilbab bukan berarti tidak bertoleransi."

Setelah lulus kuliah, alhamdulillah Allah memudahkan jalan saya dalam mencari kerja. Saya diterima di beberapa company dan memutuskan untuk memilih 1 multinational company. Disinipun tidak ada hambatan yg berkaitan dg jilbab saya. Bahkan atasan yg expat pun sangat welcome. Dari situ, alhamdulillah 2 sahabat saya tidak takut untuk ikut berjilbab.

Makin hari saya makin mengerti kenapa dulu Tuhan memberi hidayah dg keinginan yg sangat besar dan begitu tiba-tiba untuk memakai jilbab. Tanpa terlebih dahulu memakai jilbab, mungkin saya tidak akan pernah belajar membingkai hati saya dan menyesuaikannya dengan jilbab saya. Terlebih saya ada 'bakat bandel' dan punya 'berbagai jenis' teman. Saya merasa, jilbablah yg menjaga tingkah laku saya dan seringkali menjaga hati saya. Sejak memakai jilbab, pelan-pelan saya suka mengingatkan diri sendiri, misal "Malu ah, pakai jilbab kok masih suka iri sama orang", "Malu ah, pakai jilbab kok sholatnya bolong-bolong", dll. Jilbab juga membantu saya untuk bebas bergaul, tanpa 'tercampur'.

Nah, kemaren waktu di Kyoto, karena pagi-pagi sudah check out dari guest house tempat kami menginap, kami harus mencari tempat untuk menjalankan sholat dhuhur dan ashar secara jamak. Berbekal informasi yg terbatas dari internet, kami muter-muter mencari alamat satu-satunya masjid di Kyoto. Well, kami bisa sholat di pinggir kali, di taman, atau dimana saja. Tapi kl ada masjid, why not? Apalagi udara di luar sangat dingin. Setelah bertanya kesana-kemari dengan Bahasa Jepang semi tarzan, dibantu beberapa penduduk lokal, naik-turun bus, dan jauh berjalan dengan kaki pincang kecapean, masjid yg kami tuju belum juga ditemukan.
Saat sampai di jembatan yg menyebrangi Kamo River, kami sudah hopeless. Waktu sholat pun hampir habis. Kami tidak tahu harus berjalan kemana lagi dan bertanya kepada siapa lagi.  Saat iseng melongok ke bawah, tiba-tiba saya melihat perempuan mengenakan jilbab ungu, berjalan bersama suami & anaknya di pinggir Kamo River. Saya segera berlari, mencapai ujung jembatan dan menuruni tangga secepat yg saya mampu, berusaha mengabaikan ngilu, dan  mengejar 'rombongan' si perempuan berjilbab ungu. Suami saya yg kondisi kakinya lebih parah, berjalan pelan-pelan di belakang. Subhanallah, ternyata keluarga itu dalam perjalanan ke masjid dan mengajak kami untuk berjalan bersama mereka. Sepanjang jalan saya merinding. Sekali lagi, Allah berusaha membuat saya mengerti, kenapa dulu saya begitu ingin berjilbab - tanpa alasan yg kuat. Jilbab adalah identitas kita sebagai muslimah. Apabila pandangan mata saya tidak menangkap perempuan berjilbab ungu itu, mungkin masjid yg kami cari tidak akan ketemu.

Hingga selang beberapa waktu di Jepang pun saya masih kerapkali tertegun, takjub. Begitu sederhananya Tuhan membuat saya mengerti, setelah banyak hal 'lebih besar' dalam hidup yg saya lewati. 
Anyway, sampai sekarang pengetahuan Islam saya dan bacaan mengaji saya masih kalah jauh dibandingkan banyak sahabat muslimah lainnya, bahkan yg belum berjilbab. Saya juga masih sering menyakiti orang lain, baik secara sengaja maupun tidak, belum bisa menjadi istri yg sempurna untuk suami saya,  dan masih punya banyak sisi minus lainnya. Tapi saya semakin tidak takut (atau lebih tepatnya tidak peduli) kalau ada yg bilang, "udah pakai jilbab kok kelakuan masih minus." atau "pakai jilbab kok ngaji aja ga becus." atau banyak hal tidak enak didengar lainnya. Kita akan terus berproses. Dan saya semakin yakin kalau insya Allah jilbab kita akan membantu kita untuk berproses ke arah yg baik. Dg konsisten memakai jilbab, insya Allah kita mengingatkan diri kita sendiri secara pelan-pelan. Dengan kecepatan yang tidak selalu konstan.

Well, it's just a thought. Buat teman-teman yg sudah ada keinginan untuk pakai jilbab, sekecil apapun itu, semangat yaa.. :)

Wednesday, November 10, 2010

A Short Trip to Japan

We just came back from 6 days backpacking trip to Japan,
with these made-in-Indonesia backpacks.

We're tired but extremely happy.
:)

Saturday, October 30, 2010

Saturday

I'm too lazy to get up.
Just couldn't get enough of your big hug.

Saturday, September 18, 2010

Kilat - UWRF Flash Fiction Challenge


I know it's too late to participate. But kindly click the link below to vote:

Thanks a bunch! *hugs.

Friday, September 17, 2010

Syawal 2010

Taqabalallahu minna wa minkum

Mohon maaf lahir & batin
Semoga setelah sebulan dicuci, hati kita kembali bersih.
Seperti kapas yang putih.

Ps. image by istockphoto.com

Saturday, July 10, 2010

1st Anniversary

"Mencintai & menghormati pasanganmu, sama dengan mencintai & menghormati Tuhanmu, karena Dia lah yang telah memilihkan jodoh untukmu."
(Prof. Dr. H. K. Suheimi, SpOG) - updated 110710

...
dan cinta ini
(insya Allah) akan kita bawa sampai kehidupan setelah mati.

Happy 1st anniversary, bibi..



Related post:

Saturday, July 3, 2010

Dream


... dan sayapun sampai di persimpangan jalan yang lain lagi.
Kanan atau kiri?
Ah, mimpi itu masih disini.




 Note: Gambarnya 'minjem' dari istockphoto.com

Friday, June 25, 2010

Simply No Rule

My friend, Icha made me in love with this tumblr. I love the pictures, the quotes, and even the mocks. These are two of my favorites:




Just breathe and believe! ;)

Source: http://simplynorule.tumblr.com/

Friday, June 11, 2010

Mental Mengejar 'Ijazah'

Dua minggu lalu, seorang murid saya  menelepon dan menyampaikan keinginannya untuk 'lompat kelas' karena menurut dia, materi yang saya ajarkan di kelas yang sekarang terlalu mudah. Saya mengernyit dan mengecek namanya di catatan saya. Saya cek lagi dan lagi untuk meyakinkan diri saya bahwa yang sedang menelepon adalah murid saya yang 'itu'. Yang di kelas masih belepotan kemana-mana dan (menurut saya) masih perlu banyak belajar mengenai materi level dasar.

Karena ujian sudah dekat, saya mengatakan kalau saat ini tidak ada kesempatan untuk 'lompat kelas'. Kalau memang dia merasa materi di kelas saya terlalu mudah untuk dia, saya akan memberikan soal-soal tambahan di luar kelas. Lalu dia bertanya, "kalau saya ngerjain soal-soal itu, nanti sertifikat saya tetep 'basic' apa ngga? Rugi dong kalau saya udah belajar lebih banyak tapi sertifikatnya 'basic'."

Kemudian dia menjelaskan bahwa kontrak kerjanya di Singapore hanya sampai akhir tahun ini dan dia tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapat sertifikat dengan level yang lebih tinggi. Di sinilah saya mengerti. Sertifikat. Ya, dia ngotot untuk 'lompat' kelas demi sebuah 'ijazah', bukan karena materi di kelas saya yang sekarang terlalu gampang. Bukan juga karena dia ingin mendapat ilmu yang lebih tinggi.

Saya bengong. Langsung teringat budaya ijazah palsu dan sekolah ala kadarnya asal dapet ijazah ala (beberapa) pejabat Indonesia. Ternyata mental 'mengejar ijazah' itu tidak hanya dimiliki oleh (beberapa) pejabat saja, melainkan mengakar hingga ke (sebagian) rakyatnya. Selembar kertas itu sangatlah penting, sampai-sampai kita lupa bahwa pelajaran demi pelajaran dalam meraihnya jauh lebih penting. Mau bego kek, mau nyogok kek, mau nyontek kek, yang penting title-nya tinggi dan cepet punya 'kertas tanda bukti'. 

Well, saya ga mau naif. Mungkin saya juga salah satu di antara orang yang 'meninggikan' ijazah dan sertifikat. Kejadian sepele itu sempat membuat saya termenung. Tuhan sedang meminta saya belajar dengan cara-Nya, melalui murid saya sebagai medianya, agar selanjutnya saya tidak menilai sebuah ijazah secara dangkal. Ijazah dan sertifikat menjadi berharga karena ada usaha keras (yang legal) untuk mendapatkannya dan kesuksesan tidak semata-mata dinilai dari ijazah atau sertifikat yang kita miliki. Noted.

Kembali ke murid saya tadi, butuh beberapa hari bagi saya untuk membuat dia mengerti bahwa target dia yang utama seharusnya adalah mendapatkan ilmu untuk diajarkan pada anak-anaknya yang dia tinggalkan di Indonesia. Ilmu itu juga yang akan mengantar dia mendapat pekerjaan yang lebih baik, asal dia bersungguh-sungguh belajar dan berusaha. Apalagi yang saya ajarkan adalah 'bahasa', dimana kemampuan practical akan lebih dihargai daripada selembar 'kertas'.
Syukurlah akhirnya dia mau mengerti. Lalu apakah saya sebenarnya sudah benar-benar mengerti?

Monday, May 3, 2010

21 (Ga Pake Cineplex)

Berikut ini adalah cuplikan percakapan saya dengan Bunga -bukan nama sebenarnya-, oleh-oleh 'escape to Batam' wiken kemaren.

Bunga: Halo selamat siang blablabla, dengan Bunga bisa dibantu?
Saya: Halo, Mba, tolong nomor teleponnya 21 cineplex Nagoya Hill dong..
Bunga: Sebentar ya Ibu..
Saya: Ok.
...

Saya: (nengok ke suami) Tumben lama banget ngasihnya.
....

Bunga: Halo Ibu, maaf membuat Anda menunggu lama. Mohon maaf Ibu, 21 cineplex Nagoya Hill belum terdaftar. Adanya 21 Nagoya Hill saja, Ibu.


Dang! Kik kuuuk...

Monday, April 26, 2010

Monday, April 19, 2010

Balada Tukang Kerupuk

Seminggu kemaren saya pulang ke Surabaya untuk menghadiri acara keluarga sekaligus menengok 'keponakan pertama' untuk yang pertama kalinya. Karena satu dan lain hal (halah), kali ini saya mudik sendirian, tanpa ditemani suami. Sesampainya di Singapore Hari Jumat sore, Novrida, seorang teman dekat yang dengan baik hati mau menggantikan saya mengajar di SIS pada Hari Minggu sebelumnya, datang ke rumah untuk 'melaporkan' hasil belajar dan ngasih daftar absen (sekalian ngambil oleh-oleh ngasih 'kabar gembira').

Kami cekakak-cekikik dan ngobrol ngalor-ngidul, sampai tiba-tiba sekitar jam setengah 5 sore pintu rumah saya diketuk orang. Obrolan kami terhenti seketika. Pelan-pelan saya menengok ke lobang intip pintu untuk melihat siapa yang datang. Kosong. Tidak ada orang disana. Si pengetuk pintu 'sembunyi' dari lobang intip. Tapi dia tetap mengetuk. Pelan dan konstan.

Novrida menghampiri saya dan ikut menengok lobang intip, lalu bertanya siapa kira-kira yang ada di luar. Dengan yakin saya jawab 'tukang kerupuk', karena memang rumah saya sering 'disantroni' tukang kerupuk yang kl ngetok pintu keuh-keuh banget dan kl dibukain langsung memelas, setengah memaksa saya membeli barang dagangannya yang seringnya apek.

Sampai sekitar 10 menit, 'si tukang kerupuk' tetap gigih mengetuk pintu. Karena pintu rumah saya sebenarnya sedang tidak terkunci, saya dan Novrida diam di balik pintu, jaga-jaga kl si tukang kerupuk ini nekat coba-coba buka pintu.

Memasuki menit belasan, saya masuk ke kamar, memutuskan untuk memakai jilbab. Mungkin sebaiknya kali ini saya membuka pintu dan ngomong baik-baik. Lagipula saya dan Novrida udah kaya detektif ga jelas yang daritadi bisik-bisik di balik pintu sambil nengok-nengok lobang intip dan mengira-ngira pentungan apa yang bisa dipakai kl si tukang kerupuk ini nekat buka pintu.

Belum sempet pakai jilbab, tiba-tiba henfon saya bunyi. Suami. Saya menjawab "halo" dengan suara berbisik. Well, telepon itu membuat saya harus cepat-cepat keluar kamar dan membuka pintu rumah. Novrida bengong melihat saya membuka pintu tanpa memakai jilbab. Setelah melihat siapa yang ada di balik pintu, barulah kami semua ketawa sampe mules.

Ternyata si tukang kerupuk tadi adalah suami saya, Sodara-Sodara! Hahaha..
Dia pulang kantor lebih cepet tanpa memberitahu saya sebelumnya. Mungkin maksudnya sekalian kasih kejutan dalam rangka menyambut istri yang baru datang. Karena cape jalan kaki dari MRT Station sambil gendong tas laptop, dia senderan di sisi kanan pintu, 'sembunyi' dari lobang intip.
Hoho.. pantesan keuh-keuh banget ngetok pintunya. Lha wong rumahnyaaa...

Maaf ya, sayang.. :P

Note: Gambarnya 'minjem' dari istockphoto.com.

Tuesday, April 6, 2010

For Your Information

Beberapa fakta menarik tentang pahlawan devisa kita yang belajar di Sekolah Indonesia Singapura setiap Hari Minggu :

  1. Walaupun 'cuma' domestic worker, banyak di antara mereka yg bawa laptop ke sekolah dan itu membuat suasana kantin Sekolah Indonesia Singapura di Hari Minggu "11-12" sama suasana kantin Singapore Management University. Hoho..
  2. Beberapa di antara mereka memanggil saya "Bu Teacher" dan walaupun saya bilang ke mereka kalau sebutan itu salah, somehow saya suka sebutan itu. Lucu.
  3. Memperbaiki hal yang salah lebih sulit daripada mengajarkan sesuatu mulai dari 0. Murid-murid saya yang sudah lama tinggal di Singapore menyelipkan kata 'already' khas singlish dimana-mana dan susah banget dikasihtauin. Misalnya, "Today I'm going to school already." --'
  4. Mereka sangat rajin belajar. Bahkan few of them minta dikasih PR mulu dan cerita kalau mereka membaca ulang materi yang diajarkan setiap hari! 
  5. Gaji mereka ada yang mencapai more than 1000 SGD loh.. Bersih dibawa pulang! Jangan suka ngeremehin TKW lagi yaa.. Apalagi buat yg gajinya masih kurang dari itu. :)
  6. Bulan ini akan ada beberapa mahasiswa UT Sekolah Indonesia Singapura yang diwisuda dan kata Pak Dubes di Dialog Publik minggu lalu, beberapa di antara mereka meraih nilai lebih tinggi dari mahasiswa UT lain di Indonesia. Wow!
  7. Salah satu murid di kelas saya diajak nge-gym sama bos bule-nya tiap sore. Hohoho.. Pantesan badannya kenceng!
  8. Sejak berbagi ilmu di SIS, setiap Hari Minggu saya jadi lumayan terkenal di MRT Station atau di Orchard Rd. Selalu ada yang nyapa "Hi, Ms. Wulan" atau "Halo, Bu Guru!" Hohoho.. Mom, I am becoming a teacher just like you. :">

Anyhow, di balik semua rasa bangga saya kepada mereka, saya tetap berharap suatu hari nanti, rantai pengiriman 'pembantu' dari Indonesia ke negara manapun bisa terputus. Semoga. 

Tuesday, March 23, 2010

Belajar Bersama Perempuan-Perempuan Luar Biasa

Sekitar pertengahan Februari lalu, waktu si ibu pemilik blog ini menawari saya  mengajar Bahasa Inggris di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kerja untuk Pahlawan Devisa Indonesia, saya langsung meng-iya-kan tanpa berpikir panjang.  Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kerja ini dibawah naungan KBRI Singapura dan bertujuan untuk memberi kesempatan belajar seluas-luasnya bagi Tenaga Kerja Indonesia di Singapura melalui program Kejar Paket, Pelatihan Ketrampilan, dan Universitas Terbuka.

Seperti yang saya tulis di post sebelumnya,  ini adalah awal yang bagus untuk mencapai salah satu dari mimpi yang pernah saya tulis di sini. Sudah lama saya menunggu kesempatan berbagi ilmu dengan Pahlawan Devisa yang sering kita pandang sebelah mata. Padahal untuk tahun 2009 saja, sumbangan  devisa mereka mencapai 6,6 milyar USD*. Tidak seharusnya mereka dipandang 'semau kita'.

Bagi saya, mereka adalah perempuan-perempuan luar biasa. Dengan modal dan kemampuan terbatas, mereka  berani mengambil keputusan untuk pergi jauh dari rumah demi masa depan yang lebih baik. Tidak berhenti sampai disitu,  setelah 6 hari penuh bekerja dari pagi sampai malam di rumah majikan, di Hari Minggu, saat mereka seharusnya istirahat, leyeh-leyeh, dan liburan, mereka masih mau datang untuk belajar bersama saya dan guru-guru lainnya, dengan alasan yang sangat sederhana, "agar mereka sedikit lebih pintar dan lebih 'bisa'".

Menurut saya, ada khasanah yang sangat kaya di balik alasan sederhana mereka. Secara etimologis, perempuan berasal dari kata 'empu' yang artinya 'hulu' atau 'atas'.**
Dari perempuanlah kita 'bermula' dan generasi penerus kita 'berasal'. Karena itulah setiap perempuan harus terus belajar.

Perempuan yang mau belajar akan mampu mendidik anak dengan pintar.

Dari kegiatan belajar-mengajar ini kita boleh berharap, suatu hari nanti, saat mereka kembali ke pelukan anak-anak mereka atau melahirkan generasi penerus lainnya, mereka sudah lebih pintar dari mereka yang sebelumnya. Lebih pintar dalam mendidik, mengayomi, dan menjaga. Memutus 'maid generation' yang di-export keluar dari Indonesia. Semoga.

Dan percaya atau tidak, bagi saya, semangat belajar mereka sangatlah menular. Antusiasme mereka seolah terus mengingatkan saya bahwa dalam hidup ini selalu ada sesuatu yang harus dikejar. Tanpa sadar, di setiap kegiatan belajar-mengajar, sebenarnya merekalah yang jadi gurunya dan sayalah muridnya. ;)

Oh iya, satu lagi, rekan-rekan pengajar di sana (esp. yang sebidang ajar dengan saya) juga ga kalah luar biasa loh.. 'Riset' iseng mengenai latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan yang pasti dedikasi mereka membuat saya bangga bisa berdiri dan belajar bersama mereka. Apalagi satu di antara mereka adalah pelopor kegiatan ini di Singapura.

Terimakasih Tuhan, atas kesempatan yg Kau berikan untuk bertemu orang-orang yang luar biasa. Semoga hamba bisa menjadi sedikit lebih berguna.


--
Sumber:
* http://www.antara.co.id/berita/1267368498/wow-tki-sumbang-devisa-6-6-miliar-as
** http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html

Sunday, March 14, 2010

First Step

Masih ingat posting di blog ini tentang "things I want to do before I die"?

Mulai bulan ini saya berkesempatan menapaki anak tangga pertama untuk mencapai mimpi nomor 2. Seorang teman berkepribadian istimewa mengajak saya untuk bergabung dengannya untuk berbagi ilmu setiap Hari Minggu dengan pahlawan devisa Indonesia.

Lain waktu saya akan cerita panjang lebar yaa..

:)

Sunday, February 14, 2010

Cinta Biasa

Waktu saya menikah, banyak orang yg mengingatkan kl 'balada rumah tangga' baru akan terasa setelah 3 bulan pernikahan. Cinta sepasang suami istri akan mulai diuji, apakah hanya euforia atau cinta yg bermuara kepada-Nya.

Bulan ini, usia pernikahan kami sudah melewati 6 bulan pertama. Dan saya merasa, semakin lama, rasa cinta saya pada suami saya menjadi semakin 'biasa'. Cinta yg membuat saya merasa nyaman di dekatnya. Cinta yg membuat saya kecanduan mengecup pipinya. Cinta yg membuat saya semakin 'jatuh' saat melihat tawa lepasnya. Cinta yg membuat saya tersenyum mendengar dengkur lelahnya. Cinta yg membuat saya selalu ingin meringankan beban di bahunya. Cinta yg membuat saya rindu akan baunya sepulang kerja. Cinta yg membuat saya betah berjam-jam bercerita, dari soal teman, keluarga, code yg error tiba-tiba, hingga berita di social media. Cinta yg membuat saya banyak senewen karena khawatir dan ngomel tanpa berpikir. Cinta yg kadang saling melukai tanpa sengaja, lalu menyesal beberapa saat setelahnya. Cinta yg membuat saya semakin yakin untuk terus melukis bahagia bersama. Cinta yg ..... ah, tetangga kanan-kirimu-pun punya saking 'biasanya'.

Usia pernikahan kami masih sangat muda. Saya belum berani menyebut cinta saya sebagai 'cinta yg bermuara kepada-Nya'. Saya hanya berani menyebutnya 'cinta biasa'. Cinta yg dipunya hampir semua istri di dunia pada suaminya. Tapi saya yakin, cinta ini sama sekali bukan euforia.

Selamat hari kasih sayang bagi yg merayakan. :)