Monday, August 22, 2011

Seranina Ulla Wicaksono

Begitu kami menamainya. Bayi cantik yang akhirnya lahir juga melalui sebuah proses kelahiran yang diwarnai sedikit  drama dan luluhlantaknya idealisme saya untuk melahirkan secara 'alami'. Saya yang sejak awal keuh-keuh mau melahirkan tanpa pain-killer, akhirnya menyerah juga pada epidural setelah proses induksi yang ujug-ujug membuahkan kontraksi dahsyat sampai rasa-rasa mau mati.

Ceritanya, sampai Hari Sabtu, 30 Juli 2011 yang merupakan due date lahiran sekaligus jadwal kontrol terakhir ke dokter, si bocah masih adem ayem di perut emaknya tanpa ada kontraksi yang berarti ataupun pembukaan jalan lahir. Padahal saya sudah melakukan segala cara induksi alami, mulai jalan kaki sejauh-jauhnya setiap hari, sampai minta pijitin suami di titik-titik pemancing kontraksi di tungkai dan telapak kaki *ini sih sekalian karena doyan*. Sayangnya menurut dokter, air ketuban di perut saya sudah menipis sehingga saya harus diinduksi agar tidak membahayakan jiwa si bayi. Menipisnya air ketuban di perut saya diikuti juga dengan menipisnya optimisme saya untuk melahirkan 'senormal-normalnya', karena menurut teori hypnobirthing yang saya pelajari sejak trimester kedua kehamilan, induksi harus dihindari karena menyebabkan kontraksi hebat di saat tubuh belum siap.

Induksi secara oral dilakukan sekitar jam 11 siang dan dokter memperkirakan kontraksi akan terjadi jam 4 sore. Tapi ternyata sekitar jam 1 siang perut saya sudah mules-mules ga karuan. Kami segera kembali ke klinik dokter dan melakukan baby monitoring. Tak lama setelah itu, air ketuban saya pecah dan saya sudah berada di pembukaan 3. Saya pun segera dipindahkan ke ruang observasi rumah sakit menggunakan kursi roda.
Disinilah terjadi drama pertama. Lift yang mengubungkan klinik dokter dengan rumah sakit mati karena ada kebakaran, entah di mana, sehingga saya pun harus turun ke ruang observasi melalui tangga. Bagusss, bukan?

Dengan penuh perjuangan, sampailah saya di ruang observasi. Saya diminta berganti 'baju bersalin' sambil menunggu suami yang menyelesaikan urusan admisi. Proses admisi ini memakan waktu cukup lama karena saat itu kami tidak membawa dokumen dan kelengkapan yang harus dibawa sehingga harus minta tolong adek ipar untuk mengantarnya ke rumah sakit, mengingat tidak terbersit di benak kami kalau saya akan melahirkan di hari itu. Saking lamanya, beberapa kali suster menanyakan sebenarnya saya ditemani siapa dan dimana orangnya.

Saat suami datang, saya sudah berada di pembukaan 5. Nafas saya sudah tinggal 1-2-3. Kontraksi hebat terjadi dengan intensitas yang makin cepat. Teori humming di pelajaran hypnobirthing mulai saya terapkan. Dzikir yang terlintas di kepala juga saya baca semua. Tapi dasar saya panikan, semua itu tidak mempan. Saya pun diberi masker gas apalah itu yang justru bikin bingung dan mikir tiap mau nafas.
Akhirnya drama selanjutnya terjadi. Saya ngotot minta disuntik epidural. Padahal sebelum-sebelumnya saya meminta suami untuk berjanji agar menolak kalau saya minta epidural. Bahkan di birth plan kami jelas-jelas tertulis "Do not offer me any pain-killers unless I ask for it."
Setiap kontraksi hebat datang, saya mendadak kehilangan konsentrasi dan kehabisan tenaga setelahnya. Apalagi saat itu saya sedang lapar. Pokoknya saya mau epidural!

Menanggapi permintaan saya, seorang suster datang dengan membawa surat persetujuan anestesi yang harus ditandatangani beserta informasi mengenai resiko yang mungkin terjadi.  Suami yang masih berusaha konsisten memegang janjinya kepada saya, meminta suster tersebut meninggalkan kami dan memberi kami waktu untuk membaca surat persetujuan itu dengan seksama.
Seksawhattt? Mau baca 2 halaman penuh tulisan dalam bahasa enggres yang banyak istilah-istilah medisnya itu dengan seksama? Butuh waktu berapa lamaaa?
Saya yang panik saat suster beranjak meninggalkan kami segera memencet tombol emergency, "Hey, don't leave us. Just give me the epidural. I will sign it RIGHT NOW!"
Dan saya dengan yakinnya berkata pada suami, "I've already known the risk. I just need that-what-so-called-epidural. Please.."
Begitulah. Akhirnya suami saya menyerah dan mengijinkan saya menandatangani surat persetujuan anestesi tersebut (dan menjadikannya bahan ledekan hingga hari ini --").

Sekitar jam 4 sore, saya dipindahkan ke ruang bersalin dan disuntik epidural. Perlahan rasa sakit saya mereda dan terganti oleh gemetaran yang luar biasa. Lalu saya pun ngadu ke suami, "tiba-tiba aku gemeteran banget, kenapa ya?"
Dengan sewot suami menjawab, "yeee... katanya tadi udah tau resikonya! Jelas-jelas disitu ditulis salah satu resikonya ya gemeteran." Saya cuma bisa menimpali dengan "oh" sambil cekikikan. :D
Tak lama setelah sebagian badan saya merasa kebas, terjadi pertambahan pembukaan yang signifikan dari 5 ke 9. Saat itu rasanya semakin ga sabar untuk ketemu bayi yang selama ini ada dalam perut saya. Sayangnya karena saya baru disuntik epidural di pembukaan 5 dan jarak dari pembukaan 5 ke 9 terlalu cepat, saya tidak bisa merasakan adanya kontraksi sama sekali, sehingga menghambat proses pertambahan pembukaan selanjutnya. Sampai suami selesai sholat maghrib dan kami selesai membicarakan beberapa topik ga penting sambil cekikikan ga jelas, pertambahan pembukaan belum juga terjadi. Acara tunggu-menunggu pembukaan itu membuat saya semakin lapar, sehingga walaupun dilarang, diam-diam suami menyuapkan M & M's pada saya.  

Pembukaan 10 baru terjadi sekitar pukul 20:00. Setelah diberi kesempatan untuk mencoba mengejan sendiri, akhirnya saya pasrah untuk dibantu megejan dengan aba-aba karena saya benar-benar kebas, tidak bisa merasakan apa-apa. Akhirnya tepat pukul 20:20 waktu Singapore, bayi cantik dengan berat badan 2.7 kg dan panjang 48 cm itu lahir juga dengan 'ditangkap' langsung oleh papanya sendiri, sesuai request kami. Air mata saya tidak bisa berhenti mengalir saat melihat dia untuk pertama kalinya. Juga saat pertama kali saya memeluk, menyusuinya, dan samar mendengar suami membacakan iqamat di telinganya. Sungguh momen yang syahdu, haru, dan bahagia.

Keesokan paginya, efek induksi masih terasa. Perut saya kembali mules-mules serasa masih ada satu bayi lagi di dalam sana. Kata suster jaga, hilangnya efek induksi pada sebagian orang memang memerlukan waktu yang cukup lama. Namun saya tak lagi ambil pusing saking bahagianya. Tiap kali bayi mungil itu diantar ke pelukan saya, wajah saya kembali berlinangan air mata. Subhanallah, dia begitu indah (dan sangat mirip papanya --")

Seranina Ulla sendiri artinya bidadari kecil yang berkedudukan tinggi (di hadapan Tuhan), dengan harapan dia akan selalu menjaga sholat dan ibadahnya. Ulla dalam Bahasa Jerman juga berarti berkemauan keras / pantang menyerah.
Wicaksono? Nama papanya tentunya. 

Semoga kelak bayi mungil yang cantik dan lucu ini tumbuh menjadi wanita cerdas yang selembut bidadari dengan ahlak yang mulia dan berkemauan keras dalam memperjuangkan ilmu dan kebaikan.
Dan sampai kapanpun, dalam hati saya dan suami, dia akan selalu menjadi Nina, gadis kecil kami.


:)