Dua minggu lalu, seorang murid saya menelepon dan menyampaikan keinginannya untuk 'lompat kelas' karena menurut dia, materi yang saya ajarkan di kelas yang sekarang terlalu mudah. Saya mengernyit dan mengecek namanya di catatan saya. Saya cek lagi dan lagi untuk meyakinkan diri saya bahwa yang sedang menelepon adalah murid saya yang 'itu'. Yang di kelas masih belepotan kemana-mana dan (menurut saya) masih perlu banyak belajar mengenai materi level dasar.
Karena ujian sudah dekat, saya mengatakan kalau saat ini tidak ada kesempatan untuk 'lompat kelas'. Kalau memang dia merasa materi di kelas saya terlalu mudah untuk dia, saya akan memberikan soal-soal tambahan di luar kelas. Lalu dia bertanya, "kalau saya ngerjain soal-soal itu, nanti sertifikat saya tetep 'basic' apa ngga? Rugi dong kalau saya udah belajar lebih banyak tapi sertifikatnya 'basic'."
Kemudian dia menjelaskan bahwa kontrak kerjanya di Singapore hanya sampai akhir tahun ini dan dia tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapat sertifikat dengan level yang lebih tinggi. Di sinilah saya mengerti. Sertifikat. Ya, dia ngotot untuk 'lompat' kelas demi sebuah 'ijazah', bukan karena materi di kelas saya yang sekarang terlalu gampang. Bukan juga karena dia ingin mendapat ilmu yang lebih tinggi.
Saya bengong. Langsung teringat budaya ijazah palsu dan sekolah ala kadarnya asal dapet ijazah ala (beberapa) pejabat Indonesia. Ternyata mental 'mengejar ijazah' itu tidak hanya dimiliki oleh (beberapa) pejabat saja, melainkan mengakar hingga ke (sebagian) rakyatnya. Selembar kertas itu sangatlah penting, sampai-sampai kita lupa bahwa pelajaran demi pelajaran dalam meraihnya jauh lebih penting. Mau bego kek, mau nyogok kek, mau nyontek kek, yang penting title-nya tinggi dan cepet punya 'kertas tanda bukti'.
Well, saya ga mau naif. Mungkin saya juga salah satu di antara orang yang 'meninggikan' ijazah dan sertifikat. Kejadian sepele itu sempat membuat saya termenung. Tuhan sedang meminta saya belajar dengan cara-Nya, melalui murid saya sebagai medianya, agar selanjutnya saya tidak menilai sebuah ijazah secara dangkal. Ijazah dan sertifikat menjadi berharga karena ada usaha keras (yang legal) untuk mendapatkannya dan kesuksesan tidak semata-mata dinilai dari ijazah atau sertifikat yang kita miliki. Noted.
Kembali ke murid saya tadi, butuh beberapa hari bagi saya untuk membuat dia mengerti bahwa target dia yang utama seharusnya adalah mendapatkan ilmu untuk diajarkan pada anak-anaknya yang dia tinggalkan di Indonesia. Ilmu itu juga yang akan mengantar dia mendapat pekerjaan yang lebih baik, asal dia bersungguh-sungguh belajar dan berusaha. Apalagi yang saya ajarkan adalah 'bahasa', dimana kemampuan practical akan lebih dihargai daripada selembar 'kertas'.
Syukurlah akhirnya dia mau mengerti. Lalu apakah saya sebenarnya sudah benar-benar mengerti?
hihihi... bingung juga mau bilang apa. begitu realita yang terjadi.
ReplyDeletekalo sayah, mencoba menikmati semua prosesnya. tapi mungkin kondisinya beda karena saya ga ada pressure kalo dibandingkan dengan muridmu, lan.
tapi kalo pun saya ambil kursus, yang penting saya ngerti bukan yang penting dapet ijazah. lagian malu kali kalo ditanya, gimana hasil kursusnya? udah bisa apa ajah?
dan ketika di tes, sama sekali ga ada ilmunya. (doh)
Hmmmn,.. Materi Dasar yg diajarkan sbnrnya apa tho pak,..
ReplyDelete