Seperti yang saya tulis dalam post sebelumnya, saya dan suami baru saja kembali dari Jepang. Jalan-jalan ala ransel, dengan backpack tinggi dan budget yg terbatas. Tapi bukan soal cantiknya Kyoto, canggihnya Tokyo, atau soal perjalanan ala ransel itu yg kali ini akan saya ceritakan. Tulisan kali ini tentang saya -perempuan berjilbab yg tidak terlalu religius-, dengan keyakinan saya soal jilbab yg saya kenakan.
Saya mulai memakai jilbab sejak kelas 1 SMA, sekitar pertengahan tahun 2002. Waktu itu di lingkungan saya, teman-teman yg memakai jilbab belum sebanyak sekarang. Di rumah pun belum ada satupun anggota keluarga saya yg berjilbab. Saya sendiri tidak tahu darimana asal keinginan dan keyakinan untuk berjilbab. Pada saat masuk SMA, tiba-tiba saja saya minta pada ibu untuk membeli ukuran kain seragam untuk siswi berjilbab. Ayah dan ibu saya kaget dan kurang setuju. Beliau sempat meminta saya mempertimbangkan baik-baik rencana saya, karena khawatir nantinya saya akan 'membuka jilbab' di tengah jalan atau menemui banyak 'keterbatasan'. Apalagi sejak SMP saya sangat aktif di sekolah dan hobi berenang (waktu itu belum ada burqini). Sholat saya pun masih bolong-bolong, ngaji juga jarang, tajwid kacau, dan pengetahuan tentang Islam masih ala kadarnya. Saat itu pun masih ada sisi lain dalam diri saya yg merasa takut nanti jd ga bisa 'gaya', susah cari kerja, dll. Tapi dorongan untuk memakai jilbab begitu kuat dan (entah kenapa) tidak dapat saya lawan. Karena saya keuh-keuh, akhirnya orang tua saya mengiyakan. Dan sejak itu saya pun berjilbab. Nyaris tanpa modal. Saya cuma punya 1 jilbab yg saya pakai mulu, sambil pelan-pelan beli, satu-persatu. Alhamdulillah tidak ada halangan yg berarti selama saya memakai jilbab di SMA. Saya bisa tetap aktif di kegiatan sekolah.
Jilbab tidak serta-merta membuat saya 'alim'. Sholat saya masih sering bolong, ngaji masih tetap belum rajin, pengetahuan saya tentang Islam masih saja dangkal, dan kata-kata saya masih banyak menyakitkan. Bahkan saya belum secara konsisten memakai jilbab, kecuali di sekolah. Tapi saya merasa nyaman. Saya merasa, inilah identitas saya. Setiap saya berkaca, ada rasa malu pada pakaian yg saya kenakan. Dan saya pun mulai belajar menghias hati saya sesuai dengan jilbab yg saya pakai. Satu pelajaran yg saya dapat disini. "Jilbab akan membantu kita untuk 'bercermin' dan terus memperbaiki diri. Pelan-pelan. Dengan kecepatan yang tidak selalu konstan."
Kemudian saya melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, dimana mayoritas mahasiswanya adalah chinese & non-muslim. Awalnya saya sempat khawatir susah mendapat teman. Tapi ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Saya justru banyak belajar soal toleransi di jenjang ini. Alhamdulillah, saya tidak mengalami kendala yg berarti. Beberapa sahabat saya pun non-muslim. Bahkan saat di tingkat akhir, walaupun jumlah muslim di kelas hanya 3 orang, dan saya satu-satunya yg berjilbab, teman-teman non-muslim sangat menghargai kami. Kami pun belajar untuk sepenuh hati menghargai mereka dan apa yg mereka percaya. Satu lagi pelajaran yg saya ambil, "berjilbab bukan berarti tidak bertoleransi."
Setelah lulus kuliah, alhamdulillah Allah memudahkan jalan saya dalam mencari kerja. Saya diterima di beberapa company dan memutuskan untuk memilih 1 multinational company. Disinipun tidak ada hambatan yg berkaitan dg jilbab saya. Bahkan atasan yg expat pun sangat welcome. Dari situ, alhamdulillah 2 sahabat saya tidak takut untuk ikut berjilbab.
Makin hari saya makin mengerti kenapa dulu Tuhan memberi hidayah dg keinginan yg sangat besar dan begitu tiba-tiba untuk memakai jilbab. Tanpa terlebih dahulu memakai jilbab, mungkin saya tidak akan pernah belajar membingkai hati saya dan menyesuaikannya dengan jilbab saya. Terlebih saya ada 'bakat bandel' dan punya 'berbagai jenis' teman. Saya merasa, jilbablah yg menjaga tingkah laku saya dan seringkali menjaga hati saya. Sejak memakai jilbab, pelan-pelan saya suka mengingatkan diri sendiri, misal "Malu ah, pakai jilbab kok masih suka iri sama orang", "Malu ah, pakai jilbab kok sholatnya bolong-bolong", dll. Jilbab juga membantu saya untuk bebas bergaul, tanpa 'tercampur'.
Nah, kemaren waktu di Kyoto, karena pagi-pagi sudah check out dari guest house tempat kami menginap, kami harus mencari tempat untuk menjalankan sholat dhuhur dan ashar secara jamak. Berbekal informasi yg terbatas dari internet, kami muter-muter mencari alamat satu-satunya masjid di Kyoto. Well, kami bisa sholat di pinggir kali, di taman, atau dimana saja. Tapi kl ada masjid, why not? Apalagi udara di luar sangat dingin. Setelah bertanya kesana-kemari dengan Bahasa Jepang semi tarzan, dibantu beberapa penduduk lokal, naik-turun bus, dan jauh berjalan dengan kaki pincang kecapean, masjid yg kami tuju belum juga ditemukan.
Saat sampai di jembatan yg menyebrangi Kamo River, kami sudah hopeless. Waktu sholat pun hampir habis. Kami tidak tahu harus berjalan kemana lagi dan bertanya kepada siapa lagi. Saat iseng melongok ke bawah, tiba-tiba saya melihat perempuan mengenakan jilbab ungu, berjalan bersama suami & anaknya di pinggir Kamo River. Saya segera berlari, mencapai ujung jembatan dan menuruni tangga secepat yg saya mampu, berusaha mengabaikan ngilu, dan mengejar 'rombongan' si perempuan berjilbab ungu. Suami saya yg kondisi kakinya lebih parah, berjalan pelan-pelan di belakang. Subhanallah, ternyata keluarga itu dalam perjalanan ke masjid dan mengajak kami untuk berjalan bersama mereka. Sepanjang jalan saya merinding. Sekali lagi, Allah berusaha membuat saya mengerti, kenapa dulu saya begitu ingin berjilbab - tanpa alasan yg kuat. Jilbab adalah identitas kita sebagai muslimah. Apabila pandangan mata saya tidak menangkap perempuan berjilbab ungu itu, mungkin masjid yg kami cari tidak akan ketemu.
Hingga selang beberapa waktu di Jepang pun saya masih kerapkali tertegun, takjub. Begitu sederhananya Tuhan membuat saya mengerti, setelah banyak hal 'lebih besar' dalam hidup yg saya lewati.
Anyway, sampai sekarang pengetahuan Islam saya dan bacaan mengaji saya masih kalah jauh dibandingkan banyak sahabat muslimah lainnya, bahkan yg belum berjilbab. Saya juga masih sering menyakiti orang lain, baik secara sengaja maupun tidak, belum bisa menjadi istri yg sempurna untuk suami saya, dan masih punya banyak sisi minus lainnya. Tapi saya semakin tidak takut (atau lebih tepatnya tidak peduli) kalau ada yg bilang, "udah pakai jilbab kok kelakuan masih minus." atau "pakai jilbab kok ngaji aja ga becus." atau banyak hal tidak enak didengar lainnya. Kita akan terus berproses. Dan saya semakin yakin kalau insya Allah jilbab kita akan membantu kita untuk berproses ke arah yg baik. Dg konsisten memakai jilbab, insya Allah kita mengingatkan diri kita sendiri secara pelan-pelan. Dengan kecepatan yang tidak selalu konstan.
Well, it's just a thought. Buat teman-teman yg sudah ada keinginan untuk pakai jilbab, sekecil apapun itu, semangat yaa.. :)
Great post!
ReplyDeleteI always consider that women who wear hijab had learn a thing or two about self-respect.
Now we need some pictures! :)
Like this..!!
ReplyDeletemantab nian :)
ReplyDeleteini salah satu isu tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara 'kemasan' dan 'ísi', semoga kita semua bisa lulus ujian kehidupan dengan baik, TFS:)
ReplyDeletelike it, aku suka bgt cewek yg pakek jilbab
ReplyDeletesukaaa :)
ReplyDeletemakin memantabkan saya untuk terus make jilbab :)
I like the story!!!
ReplyDeleteShame on me coz i never learn something about it
:(
good story,
ReplyDeleteikut menyemangati mudah2an semakin baik kelak ilmu dan agamanya :)